[Cerpen] Di Balik Jendela (Edisi Comeback)
Haaaiiiiiii Guys... Aku kembali lagi nih.. sudah lama yah ngga berceloteh disini. ;;) Pada kangen ga nih sama aku?? haha
Karena hari ini aku comeback, aku ingin menyuguhkan cerpen buatanku nih. Dibaca yaaaa guys jangan lupa di kasih kritik dan sarannya.. :D
-Selesai-
Bagaimana ceritanya? bagus ngga? Mohon tanggapannya ya guys :D
Karena hari ini aku comeback, aku ingin menyuguhkan cerpen buatanku nih. Dibaca yaaaa guys jangan lupa di kasih kritik dan sarannya.. :D
Di Balik Jendela
Semakin malam semakin sunyi. Terlelap dalam ketenangan dan kegelapan. Berbeda dengan ruangan ini yang masih diterangi cahaya lampu. Aku berdiri di sudut ruangan mengahadap jendela yang belum ditutupi tirai. Dari kejauhan aku menatap jendela lain yang sudah tertutup dengan tirai dan ruangan yang gelap. Jendela itu tak jauh dari rumahku, sekitar 8 langkah dari rumah ini.
“Jika akhirnya pergi, untuk apa kau datang padaku?”
***
Sepertinya semalam hujan turun. Terlihat tanaman dan jalan tampak basah pagi ini. Matahari memang belum terlihat. Aku menyusuri jalan di perkomplekan rumahku hingga aku harus berhenti sejenak di sebuah taman yang cukup jauh dari rumah.
Sebentar lagi matahari akan segera terbit. Aku putuskan untuk istirahat sejenak di sebuah bangku taman. “Kau terlihat kelelahan, apakah kau mau minum?” Aku menoleh ke arah suara itu. Di samping ku sudah ada seorang wanita yang baru akan duduk. “Tidak, terima kasih.” Ucapku.
Aku baru melihat gadis itu. Ia terlihat masih muda, rambutnya yang panjang berwarna hitam dikuncir kuda.
“Aku baru membeli minuman ini, minumlah.. pasti kau tidak membawa minum kan?” Gadis itu menawariku lagi.
“Aku tadi dari pasar untuk membeli sayuran, jadi aku sekalian membeli minuman ini. Tenang saja, minuman ini masih disegel kok.” Tanpa aku bertanya, gadis itu telah menjelaskannya.
Aku tidak merasa curiga sekali pada gadis itu. Matanya tidak menunjukkan kebohongan. Matanya yang berwarna coklat itu... “Ambillah minuman ini, aku tidak apa-apa.” Ia memecahkan keheninganku. Minuman itupun aku raih dari tangannya dan aku langsung membukanya. “Terima Kasih.” Aku pun meminumnya. Gadis itu tersenyum padaku.
Aku bersyukur sekali pagi ini. Aku telah melihat keindahan yang baru saja Tuhan perlihatkan padaku. Matahari sudah terbit dari arah timur. “Aku pamit dulu ya. Selamat Pagi.” Gadis itu berpamitan padaku. Aku melihatnya berjalan meninggalkan taman ini. Aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam tubuhku. Jantungku berdebar cepat. Mungkinkah ini efek dari minuman ini? Sepertinya tidak.
Tiap pagi kami selalu bertemu di taman. Di jam yang sama seperti pertama kali bertemu, kalaupun telat itu hanya 5 sampai 10 menit. Kami sudah banyak sekali bercerita, namun kami belum sempat bertukar nama dan menanyakan alamat tinggal.
Hingga di suatu malam ketika aku baru pulang kerja, aku selalu membuka jendela kamarku. Aku selalu menatap indahnya langit gelap yang dihiasi bintang-bintang dan rembulan. Tak hanya itu, aku melihat suatu keindahan yang begitu dekat denganku. Ya.. dia ada di seberang sana. Ia sedang menatap langit dengan senyumannya.
Kemudian kami bertemu pandang. Seolah-olah inilah takdir. Kami pun saling melempar senyuman. Entah apa yang aku rasakan sekarang, bahagia, senang atau rindu. Aku bahkan tak sempat berfikir apapun. Hingga ia memberi tanda bahwa ia akan beristirahat. Rasanya ingin waktu cepat beralalu.
Banyak sekali pertanyaan yang ingin ku tanyakan padanya pagi ini. Aku menunggunya di depan rumah lebih pagi dari biasanya.
“Apa yang kau lakukan di sini? Udara jam segini sangat dingin.” Tanyanya sambil memasukkan tangannya ke saku jaketnya.
“Menunggumu.”
“Untuk apa kau menungguku?”
“Mau ku temani berbelanja?” tanyaku sambil meraih tangannya dan ku ajak ia pergi berbelanja. Gadis itu diam dan tersipu malu. Aku menghabiskan waktu dengannya pagi ini. Melihat ia tersenyum, berbicara dan tawanya. Hati ini begitu sejuk.
“Sudah berapa lama kau tinggal di sana? Sepertinya kau pendatang baru ya?” tanyaku penasaran.
“Ia aku baru saja pindah sehari sebelum bertemu denganmu.”
“Pantas saja aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
“Benarkah? Aku pernah melihatmu sebelumnya” ia berkata dengan senyuman manisnya.
“Kau pernah melihatku? Dimana?” Aku bahkan tak ingat pernah bertemu dengannya atau tidak. Karena banyak sekali yang ku temui.
“Nanti akan ku beritahu.” Jawabnya yang membuatku semakin penasaran.
“Siapa namamu?”
“Panggil saja aku Claudya. Aku masuk dulu ya ke rumah.” Pamitnya padaku dengan melambaikan tangan.
“Namaku Helinski, Bryan Helinski.” Teriakku. Aku melihat ia tersenyum mendengarnya.
Pertemuanku dengannya semakin intens. Hatiku sudah memilihnya begitu juga dengannya. Tetapi, tak satupun dariku ataupun darinya yang mengutarakan perasaannya dengan ucapan.
Entah kenapa hari ini aku tak melihatnya. Aku telah menunggu hingga matahari terbit di depan rumah. Bahkan di malam hari aku pun tak melihatnya lagi. Aku berdiri termenung menatap jendela di seberang sana.
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara jam bandul. Aku menoleh ke arah jam tersebut dan ternyata sudah pukul jam 12 malam. Telah 4 jam aku menatap jendela di ujung sana, bahkan kakiku tidak ingin beranjak dari tempat ini.
Di ujung sana aku melihat suatu cahaya, ya.. cahaya di balik jendela itu. Aku berharap ia membuka jendelanya sedikit saja, tapi kurasa ia takkan melakukannya. Tak lama kemudian cahaya itu redup. Aku mendesah pelan dan ku pejamkan mata ini sejenak.
Telah 3 hari aku tidak bertemu dengannya dan tiap malam ia seperti itu. Apa ada yang salah denganku? Ataukah terjadi sesuatu padanya? Kenapa ia menghindariku? Aku bahkan tak berani menghampiri rumahnya. Keesokannya di jendela itu sudah tak ada lagi cahaya.
Waktu cepat berlalu. Sudah setengah tahun aku tak bertemu dengannya. Bahkan aku tak melihatnya lagi di jendela itu. Tiap malam aku terus menatap dan memperhatikan jendela itu. Setidaknya berikan saja cahaya di ruangan itu. Agar aku tahu keadaanmu.
Terdengar suara langkah kaki yang temponya sangat cepat dan suara itu terhenti di depan pintu. Terdengar suara ketukan di depan pintu, aku pun lekas membukanya.
“Apa benar anda tuan Helinski, Bryan Helinski?” tanya lelaki itu. Dia terlihat lelah, napasnya terengah-engah. Rambut keritingnya tak tersisir rapi, mungkin saja ia berlari kesini . “Iya benar, ada apa ya?” tanyaku penasaran. Ia memberikan ku sebuah amplop kecil berwarna putih yang tertera namaku.
“Terima Kasih” ucapku pada lelaki itu dan ia pergi dengan pelan berbeda dengan pada saat ia datang. Ada yang terlupakan olehku, jika ia mengantar barang atau surat kenapa tidak dititipkan saja ke Bibi Amme dan harus repot-repot mengantarkan amplop ini sampai ke kamarku? Sudahlah.
Aku membuka amplop ini. Ada secarik kertas dan tertera siapa pengirimnya. Haruskah aku membaca surat ini. Dengan mata yang terbelalak aku tak sadar bahwa surat yang ku pegang telah jatuh ke lantai. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Seperti ada yang mengoyak dan mencabik-cabik tubuhku. Pertahanan kakiku pun akhirnya tumbang, tak bisa lagi menahan tubuh ini.
Perlahan aku mencoba untuk mendatangi tempat itu. Aku benar-benar tak ingin mempercayai hal ini. Semakin lama semakin mendekat. Ruangan itu, aku tidak ingin memasukinya. Tak adakah yang mencegahku untuk masuk ke ruangan itu? Pintu itu kubuka dengan berat hati. Terlihat seorang wanita terbaring di sana. Miris sekali melihatnya yang dipenuhi dengan selang-selang yang berada di tubuhnya.
“Kenapa kau lakukan ini padaku?” Air mataku yang telah terbendung akhirnya jatuh membasahi pipi. “Setelah kau pergi pada saat itu dan sekarang kau ingin pergi lagi meninggalkanku?”
“Apa kau tidak mencintaiku? Lagiii..?” Dengan suara yang melemah, aku tak sanggup menatap wajahnya yang pucat. Aku memegang tangannya.
“Seharusnya kau tetap di sana dan jangan pergi.”
“Maafkan aku yang tak mencarimu.” Tangisku pun pecah. Aku merasa diriku begitu bodoh dan penakut. Maafkan aku Claudya. Maaf... Bunyi alat itu semakin nyaring menenggelamkan suara tangisku.
***
Dear Helinski.
Maafkan aku. Aku meminta maaf yang sedalam-dalamnya padamu. Maafkan aku yang pergi tanpa pamit padamu. Hari itu aku harus bersembunyi. Aku harus bersembunyi di dalam kamar. Karena ada seseorang yang mengetahui keberadaanku. Aku lari dari rumah. Aku menentang keras keluargaku yang ingin menjodohkanku dengan pilihannya. Aku tidak ingin menikah tanpa perasaan. Maaf aku belum sempat menceritakan ini padamu.
Terima kasih kau telah menjadi orang terdekatku. Kau telah menemani hari-hariku. Sekarang akan aku beritahu kapan kita bertemu untuk pertama kalinya. Apakah kau masih ingat ketika di depan caffe? Pada saat itu hujan turun. Aku hendak pergi karena ada urusan mendadak. Tiba-tiba kau datang memberikanku tumpangan menuju halte bus yang tak jauh dari caffe. Masih adakah payung itu?
Aku bahkan masih ingat motif dan warna payung itu. Lucu sekali bukan. Aku bahkan tidak menyangka kau berada di taman itu. Aku memberanikan diri untuk menyapamu dan akhirnya kita saling dekat. Aku juga tidak menyangka bahwa kau tinggal di depan rumah itu.
Aku melihat wajahmu pada saat itu. Kau pasti kecewa padaku. Aku melihat semua yang kau lakukan di balik jendela. Pada saat kau menungguku di pagi hari, pada saat kau pulang kerja dan pada saat kita seharusnya melempar senyum dan pandangan di malam hari. Aku memperhatikanmu di balik jendela itu.
Inilah perasaanku padamu. Maafkan aku, aku harus pergi meninggalkanmu.
Aku sangat mencintaimu, Helinski.
Salam Hangat,
Claudya Hemsworth
-Selesai-
Bagaimana ceritanya? bagus ngga? Mohon tanggapannya ya guys :D
Komentar
Posting Komentar